JA.Supit (Tokoh dalam Dunia Teh)

Oleh : Herning Banirestu

Setelah membangun merek Sari Wangi dan menjualnya ke Unilever, sang
jagoan teh celup ini kembali siap bertarung dengan membangun merek
baru, Sedap Wangi. Kans suksesnya?

Semerbak wangi teh menyeruak dari pabrik seluas 1,5 hektare yang
berlokasi di Jalan Mezedes Benz 288, Gunung Putri, Bogor. Papan nama
pabriknya yang tertata rapi dan bersih hampir tak terlihat karena
ditulis dengan huruf ukuran kecil. Kontras betul dengan gedung di
seberangnya milik Daimler Chrysler.

Nama pabrik teh tersebut adalah PT Sari Wangi A.E.A. Nama ini tentu
mengingatkan kita pada merek teh celup Sari Wangi yang kini
menguasai 70%-80% pangsa pasar teh celup di Indonesia. Memang,
perusahaan inilah yang melahirkan merek yang kini dipegang PT
Unilever Indonesia Tbk. itu.

Di balik kisah sukses Sari Wangi, ada nama besar tapi tak banyak
dikenal orang, yakni J.A. Supit. Bahkan, orang inilah yang
mengenalkan istilah teh celup. "Saya cari istilah yang familiar
dulu, tidak mungkin kan dikasih nama teh kantong" Suatu saat saya
dengar orang teriak, celupkan saja bajunya. Terpikirlah diberi
istilah teh celup," tutur Supit, sang pendiri PT Sari Wangi A.E.A.
(PT SW). Istilah ini belakangan dipakai para pemain lain di kategori
produk ini. Waktu itu, semua pedagang teh memang masih
terkonsentrasi pada pemasaran teh curah.

Bagaimana ceritanya hingga merek Sari Wangi bisa jatuh ke tangan
Unilever" Ceritanya cukup panjang. Sekadar menengok ke belakang,
Supit bukanlah orang baru di percaturan pasar teh dunia. Sewaktu
bekerja di Pamanukan & Tjiasem Land (P & T Land) yang merupakan agen
dari perkebunan-perkebunan anglo Indonesia, ia sempat dikirim ke
London untuk memperdalam ilmu tentang perdagangan dan cara meramu
teh. Namun, pada 1961 ia terpaksa pulang ke Indonesia karena P & T
Land dinasionalisasi. "Jobless deh saya," ujar jebolan Universitas
Krisna Dwipayana yang kini berusia 72 tahun itu mengenang.

Tentu saja hal itu tak berlangsung lama. Keahlian yang didapat dari
London menjadikannya konsultan teh. "Saya bisa meramu dan memilih
teh yang bagus," katanya. Waktu itu, untuk satu mangkuk teh yang
dicicipinya, ia dibayar Rp 25. Sekali perjalanan menjadi konsultan
teh, ia bisa mencicipi 100-200 mangkuk.

Honor yang didapatnya lalu dikumpulkan, hingga pada 1964 ia bisa
mendirikan CV Sari Wangi, yang menjadi perantara para pedagang teh
yang ingin menjual produk mereka ke luar negeri (Amerika, Inggris
dan Australia) dengan menggunakan jaringan yang dikenalnya semasa ia
belajar di London. "Modalnya hanya kepercayaan, tanpa jaminan atau
bayaran apa pun," katanya. Komisi yang didapat dari para pedagang
ini dikumpulkan lagi untuk membesarkan bisnisnya hingga penjadi
perseroan terbatas (PT).

Bersamaan dengan itu, perusahaan global seperti Unilever lagi gencar-
gencarnya mengambil alih perusahaan-perusahaan teh dunia seperti
Busells di Australia, Brugbon di Inggris, juga Lipton Tea. "Relasi
saya jadi lebih kecil sebab sudah diambil alih," tutur Supit.
Akibatnya, pasar luar negeri buat para produsen teh Indonesia makin
sempit karena perusahaan multinasional lebih suka berdagang dengan
cabang mereka sendiri. Supit pun mulai melirik pasar lokal yang
selama ini belum digarapnya. "Tea bag sedang berkembang di luar
negeri, saya pun tertarik menjual tea bag di Indonesia, apalagi saat
itu belum ada yang masuk di kategori ini," kata pengagum negarawan
Winston Churchill yang pernah menjadi salah satu nominee
Entrepreneur of the Year 2002 dari Ernst & Young ini.

Untuk membuat kantong teh celup dibutuhkan mesin khusus. Kebetulan
Tetre Tea, pemain teh dunia yang besar saat itu, belum membayar
komisi Supit. Maka, ia minta dibayar dengan mesin mereka yang sudah
tidak terpakai, harganya sekitar 1.000 pound. Hanya dengan satu
mesin, teh celup yang diberi merek Sari Wangi diproduksi di
pabriknya yang pertama, di Gedung Panjang, daerah Kota.

Mengingat cara minum teh dengan tea bag ini masih baru, Supit mulai
melakukan edukasi dengan mengerahkan para tenaga penjualnya. Ada
yang menjajakan di Pasar Cikini, ada juga door to door marketing
dengan sales girls yang memeragakan bagaimana minum teh celup yang
benar di acara arisan ibu-ibu. Hotel Indonesia merupakan pelanggan
korporat pertama teh celup Sari Wangi. "Ordernya masih kecil.
Kebutuhan teh di hotel kan tidak terlalu besar, tapi nama Sari Wangi
mulai dikenal," tutur penggemar olah raga berkuda ini.

Untuk menambah kapasitas produksi, Supit membeli mesin baru dari
keuntungan yang didapatnya. Tiga mesin yang lebih modern dibeli
bekas dari Australia (2) dan Singapura (1). Didukung 20-30 karyawan,
Supit menekuni bisnis teh celupnya. Namun, karena pasar teh celup
lokal belum memuaskan hasilnya, ia terus mengembangkan pasar ekspor
teh curah, misalnya ke Timur Tengah yang waktu itu (1970-an) belum
tergarap. Malah, pasar ini bisa meningkatkan penjualannya lebih dari
100% dan mampu menutupi penjualan ke Eropa dan Amerika yang anjlok
hingga 60%.

Agar fokus, Supit menyerahkan pengelolaan pasar dalam negeri pada
teman lamanya, Zakir, yang berpengalaman di perkebunan teh juga dan
sampai sekarang masih bekerja di PT SW. Karena mesin-mesin dibeli
dari luar negeri, maka kalau ada kerusakan, PT SW harus memanggil
teknisi dari luar.

Zakir lalu menyarankan untuk membangun departemen teknik yang
menangani setiap kerusakan mesin dengan menggunakan anak-anak muda
lulusan tehnik dari dalam negeri untuk mempelajari mesin yang ada.
Dengan mempunyai bengkel sendiri, produksi dan penjualan mulai
lancar. Bahkan, pada 1978 para teknisi tersebut bisa membuat mesin
sendiri setelah mempelajari mesin yang ada. Hingga sebelum merek teh
celup Sari Wangi diambil Unilever, mesin rancangan sendiri itu ada
14 unit. Hanya saja, teknologi teh celup makin meningkat. Maka, ia
memutuskan membeli dua mesin modern baru dari Italia.

"Semua investasi kami diambil dari pendapatan, tanpa pinjaman,"
imbuh Supit. Ia memang sangat konservatif dalam investasi. Dia hanya
mau pinjam bank untuk modal kerja, yang diputar terus, sehingga ada
hasilnya untuk pengembalian.

Namun, usahanya mengembangkan pasar teh celup tidak bisa maksimal.
Pasalnya, kategori baru teh ini memerlukan dana besar untuk biaya
pemasaran dan promosi. Ketika Unilever tertarik membeli
perusahaannya, Supit berpikir keras, apa yang sebaiknya dilakukan.
Selama setahun ia memikirkan tawaran dari Unilever itu. Akhirnya, ia
memutuskan menjual merek teh celup Sari Wanginya saja. "Saya tidak
mau jual perusahaannya. Kalau Unilever tidak mau, mereka boleh
berhadapan dengan saya di pasar," ujarnya mengenang ucapannya waktu
itu (1989). Berapa perusahaannya ditawar Unilever, kakek 10 cucu ini
menolak menyebut angkanya. "Pokoknya, menggiurkan," ucapnya.

Unilever tak punya jalan lain selain menerima tawaran Supit. Maka,
Unilever pun mengenjot merek Sari Wangi bersama Lipton Tea, merek
teh yang telah dimiliki sebelumnya. Multinasional ini memang lebih
memilih mengelola merek yang sudah lebih dulu dikenal pasar. Ini
dibenarkan Ashok Mittal, Kepala Unit Bisnis Divisi Makanan PT
Unilever Indonesia, meski secara global Unilever merupakan pemimpin
pasar teh. Akuisisi Sari Wangi bertujuan membangun branded tea yang
kuat di Indonesia. "Sari Wangi adalah pionir teh celup di Indonesia.
Kami yang lakukan investasi bidang marketing, distribusi,
manufaktur, dan lain-lain. Sekarang, brand ini telah menjadi market
leader di Indonesia dari segi nilai bisnisnya, dan menjadi salah
satu pemimpin pertumbuhan bisnis teh di Indonesia," papar Ashok.

Dalam pemikiran Supit pula, dengan menjual mereknya saja, Unilever
diharapkan mampu membuka lebar-lebar pasar teh celup di Indonesia.
Meski mereknya dibeli, Supit menegaskan, Unilever tidak boleh
mencampuri perusahaannya dalam pengembangan usaha. Namun, selama 12
tahun kontrak, PT SW harus rela dipasung untuk tidak masuk pasar
lokal dengan kategori teh celup. Sayang, ia tidak bersedia
menyebutkan angka penjualan mereknya itu.

Yang jelas, dari hasil penjualan merek itu, Supit bisa mengembangkan
pasar teh curah luar negeri lebih luas, termasuk membeli pabrik di
Citeureup, Bogor, seluas 1,5 ha. Selama masa kontrak itu, Supit
memang tidak mau berdiam diri. Meskipun tidak boleh masuk pasar
lokal, ia tetap mempelajari perkembangan pasar teh celup lokal.
Setelah habis masa kontrak (2002), ia pun tanpa ragu mengambil
ancang-ancang untuk kembali ke pasar lokal. "Otomatis, tanpa harus
minta izin ke Unilever, kan sudah habis kontraknya," imbuhnya. Namun
ia menegaskan, hubungannya dengan Unilever tetap terjalin baik.
Buktinya, PT SW hingga kini masih menangani pembuatan teh celup Sari
Wangi khusus sachet. Barulah pada pertengahan 2003, Supit
memproduksi teh celup merek Sedap Wangi dengan dua varian: kardus
kuning untuk konsumen menengah-bawah dan kardus hijau (gold lable)
untuk menengah-atas.

Di mata konsultan pemasaran Godo Tjahjono, langkah awal strategi
pemasaran tersebut kurang sistematis. Namun, Godo buru-buru
memakluminya karena perusahaan dengan 1.400 karyawan itu baru
kembali lagi memasuki pasar lokal dengan merek sendiri lagi, setelah
12 tahun absen. Ini disimpulkan dari survei konsumen yang dilakukan
Godo, yang saat ini menjadi konsultan pemasaran PT SW. Dari survei
itu ditemukan, konsumen ternyata bingung, mengapa ada merek sama --
Sedap Wangi -- tapi harga dan kualitasnya berbeda.

Hadirnya merek sendiri membuat pekerjaan baru bagi Departemen
Pemasaran PT SW, yaitu menggarap pasar lokal. Selain tetap
mengembangkan pasar teh curah ke luar negeri. Untuk kerja besar ini,
Supit menarik direktur pemasaran baru yang tak lain putra satu-
satunya. Walau belum resmi diluncurkan, teh celup Sedap Wangi sudah
dapat ditemui di pasar, terutama di pasar tradisional.
Secara resmi, teh celup Sedap Wangi baru akan diluncurkan tahun
depan dengan kapasitas produksi 250-300 ton teh. Menurut Godo,
keahlian PT SW meramu teh bisa menjadi keunggulan kompetitifnya.
Untuk mendapatkan rasa teh tertentu dibutuhkan teh yang dihasilkan
dari beberapa ketinggian tertentu. Akan tetapi, pasokan teh dari
ketinggian tertentu belum tentu konsisten. Nah, dikatakan Godo, PT
SW punya keahlian meramu agar citarasa tehnya konsisten.

Menurut Supit, pasar institusi akan menjadi fokus pasar teh
celupnya. "Tetapi, mass market tetap digarap dengan komposisi yang
besar juga," lanjutnya. Pasar teh celup hanya Rp 300 miliar,
sedangkan total pasar teh sekitar Rp 2 triliun. Menurut Godo, PT SW
akan berat jika hanya masuk pasar di teh celup karena berhadapan
langsung dengan Sari Wangi yang mereknya kuat sekali setelah digarap
Unilever. Terlebih, dari harga tidak begitu berbeda.

Untuk mengetahui selera pasar, Godo menyurvei 100 responden di
Jabotabek. Kalau ditanya rasa teh celup itu seperti apa, jawaban
responden selalu teh celup Sari Wangi. Namun, ketika dilakukan blind
test rasa (tanpa merek), ternyata teh Sedap Wangi lebih banyak
dipilih responden karena menurut mereka rasanya lebih enak. "Cukup
mengejutkan," ujar Godo.

Meskipun begitu, Ashok tidak melihat peluncuran Sedap Wangi sebagai
ancaman bagi Sari Wangi. "Malah sebaliknya, kami menyambut gembira
persaingan yang terorganisasi dan sehat dalam bisnis teh celup,
karena membuka market size yang lebih besar dengan semakin banyaknya
konsumen yang beralih dari teh kemasan atau packet tea ke tea bag,"
paparnya.

Godo melihat, para penikmat teh celup di negeri ini bukanlah orang
yang punya ekspektasi terhadap product enjoyment, sehingga mereka
lebih terpaku pada merek tertentu yang sudah terkenal seperti Sari
Wangi. Namun, ia yakin penikmat teh sejati (rasa teh yang tidak
terlalu light) juga ada, yang besarnya tak lebih dari 30%. Dari
temuan ini, teh celup Sedap Wangi memang diposisikan bukan untuk
menantang teh celup Sari Wangi, tapi lebih menyasar orang yang
mementingkan product enjoyment. "Sedap Wangi akan create kategori
baru," tuturnya.

Hal itu dibenarkan Supit, bahwa PT SW memang tidak ingin melewati
Unilever. Menyadari kelebihannya dalam meramu teh, Sedap Wangi akan
lebih memenuhi citarasa teh yang diinginkan daerah-daerah. Ini
sejalan dengan pemikiran Godo, bahwa bila ingin berhasil merebut
pasar teh celup lokal, PT SW harus membuat "kategori dalam kategori"
dan bisa menjadi pembeda dari pemain yang sudah besar di kelas
reguler. Juga, menarik pasar yang selama ini memakai teh tubruk
(tradisional) menjadi pemakai teh celup.

Target selanjutnya, PT SW akan lebih menggarap pasar penikmat teh
yang lebih tinggi di atas penikmat reguler. "Saya akan masuk ke
penikmat high tea," ujar Supit. Menurut pria yang masih turun tangan
meramu teh melalui komputer ini, pangsa pasar kelas atas ini belum
tergarap baik. "Launching menjadi kunci, terutama komunikasinya,
jangan sampai salah, harus tepat apa yang akan disampaikan," timpal
Godo menegaskan langkah komunikasi yang akan diambil PT SW tahun
depan. Di tahun pertama, menurut penilaiannya, sudah cukup bagus
kalau Sedap Wangi bisa merebut 10%-15% dari penikmat teh celup yang
ada.

Godo juga melihat kekuatan PT SW pada akses ke pasar luar negeri
yang bagus dan punya spesifikasi produk dari grade teh terendah
hingga yang tertinggi. "Sebagai prinsipal, mereka kuat," tuturnya.
Portofolio produknya dirasa Godo sudah benar. Yakni, selain
mengandalkan pasar di luar, juga menjual produknya di dalam negeri
dalam bentuk komoditas (tanpa merek), serta punya merek sendiri.
Untuk pengembangan pasar ekspor, Supit mengandalkan agen-agen yang
ditempatkan di hampir seluruh dunia. Agen-agen itu yang membuka
kerja sama atau apa yang bisa digarap di sana. "Perusahaan ini
berkembang sesuai kebutuhan pasar di luar," ujar Supit. Tak
mengherankan, hingga kini banyak perusahaan asing yang memercayakan
pembuatan teh celup dan berbagai produk yang berkaitan dengan teh
kepada PT SW.

Perusahaan seperti Lauder dan Avon rutin memesan teh olahan SW.
Starbucks juga pernah memesan pada PT SW. Olahan teh tersebut bukan
hanya digunakan untuk minuman, tapi juga untuk kesehatan dan
kecantikan. PT SW juga memenuhi pesanan house brand beberapa pemain
dunia, antara lain Bushells (Australia), Alberton's (Selandia Baru),
William's (Australia) dan One:One (AS). Selain itu, SW mampu membuat
tea pod's, olahan teh yang diseduh dalam 15 detik seperti kopi
ekspresso. "Bahkan, rasa teh hingga 25 flavour," kata Supit bangga.
Malah, PT SW pun mampu menjual dengan merek sendiri ke luar negeri,
beberapa di antaranya merek Clippers, Egloo, Cooper's Tea Pod's dan
JSL.

Makin bertambahnya kebutuhan teh mendorong Supit memiliki kebun teh
sendiri. Selama ini PT SW membeli bahan bakunya dari berbagai
pedagang teh lokal dan perkebunan nasional. Tahun 2000, Supit pun
memutuskan mengambil alih perkebunan teh milik Grup Sinar Mas di
Bandung dan Sukabumi yang total luasnya sekitar 4.000 ha. Untuk
upaya ini, ia meminjam sekitar US$ 4,5 juta dari Bank Mandiri. "Saya
sudah 40 tahun jadi nasabah Bank Bumi Daya yang kini melebur ke Bank
Mandiri," ujarnya.

Perkebunan itu dipegang rekannya, seorang ahli teh asal Inggris,
yang dipercaya menjadi CEO anak perusahaan dengan nama PT Indo Rub
itu. Walaupun anak perusahaan, ada independensi dalam hal
operasional dan pendapatan. Misalnya, pabrik PT SW membutuhkan teh,
kalau harganya sama, baru PT SW bisa membeli dari PT Indo Rub. Akan
tetapi, kalau ada pasar lain yang menawarkan harga lebih baik, PT SW
tidak bisa memaksakan kebutuhannya. "Saya tidak setuju kalau Indo
Rub digunakan hanya untuk kepentingan induk perusahaan,"
imbuhnya, "tapi Indo Rub tidak boleh diikat oleh perusahaan lain
juga."

Cara tersebut ditempuh untuk menghindari orang-orang perkebunannya
enggan berusaha mencari pasar baru karena merasa pasti sudah ada
yang menampung. Begitu juga dengan orang-orang di PT SW, dengan
adanya perkebunan sendiri, bukan berarti penentuan harga pokok
penjualan jadi rendah, melainkan tetap berpijak pada harga yang
berlaku di pasar. "Saya hanya ingin perusahaan ini bisa menggarap
dari daun ke mangkuk," kata Supit menegaskan. Selain itu, ke depan,
ia ingin meningkatkan penggunaan teh untuk kepentingan yang melebar,
seperti kesehatan dan farmasi, sebagai bagian perluasan pasar.

Sumber : www.swa.co.id








Tue May 16, 2006 12:12 pm

endi_kebun
Offline Offline
Send Email Send Email

JA.Supit (Tokoh dalam Dunia Teh) Rating: 4.5 Diposkan Oleh: Indah Nurani

0 komentar:

Post a Comment